Imunisasi Dalam Konteks Kesehatan Sebagai HAM

Masa kini, di dunia supermodern, imunisasi sudah bukan lagi masalah yang pelik. Walaupun dalam kenyataannya, tujuan utamanya sebagai penyehat (pemberi kekebalan massal buatan) mayoritas rakyat terhadap serangan penyakit yang dapat ditularkan melalui infeksi, masih mengalami bukit-bukit terjal. Dalam pelaksanaan program yang teknisnya dikenal sebagai vaksinasi ini, telah muncul cara pandang baru, yakni kesehatan sebagai hak asasi manusia.
Cara pandang ini kian tak terelekkan oleh pemerintah beserta semua petugas kesehatan karena 1″payung konstitusi” yakni pasal 28 i UUD 1945. Kemudian diikuti 2 “payung hukum” kontemporer UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dikaitkan lagi dengan PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota dan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan (Bidang Kesehatan) yang menempatkan imunisasi merupakan urusan bersama antara Pusat – Daerah dalam komponen utama layanan pencegahan dan pemberantasan penyakit, yang dalam konteks pemerintah, Depkes patut diacungi jempol karena termasuk departemen pelopor dalam memperhatikan amanat konstitusi. Disini, dalam SPM Bidang Kesehatan yang baru-baru ini sudah dilegitimasi melalui Permenkes “terbaru” No. 741/2008 (pasca sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah), bahwa setiap kabupaten/kota harus menargetkan cakupan universal imunisasi anak adalah 100%. Artinya, keberhasilan imunisasi merupakan prestasi bersama ketika Depkes mampu menyediakan vaksin beserta perangkat cold chainnya, Pemerintah propinsi menyediakan transportasi dan penyimpanannya sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota mengurus pelatihan tenaga kesehatan dan pelaksanaan vaksinasinya. Disinilah kesehatan muncul sebagai lokomotif pendorong kekompakan pemerintah Pusat – Daerah.
Pada sisi lainnya, pelaksanaan program imunisasi merupakan kewajiban pemerintah menyehatkan bangsanya, sebagaimana payung hukum klasiknya yakni kewenangan publik mengatur kesehatan yang tidak bisa dilawan (police power of state) bagi setiap warganegaranya, sebagaimana pasal 6,7 dan 8 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan yang diaktualkan dengan Perpres No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kesehatan dan MDG’s (Millenium Development Goals). Jadi, singkatnya, hak rakyat bertaut dengan kewajiban pemerintah yang memiliki konsekuensi hukum. Dalam hal ini, hak rakyat tersebut menyangkut imunisasi publik atau massal yang dikenal sebagai PPI (Program Pengembangan Imunisasi), seperti BCG, DPT, polio, hepatitis B dan HiB. Dari sisi hukum, pemerintah yang tak mampu melaksanakannya, sama seperti warganegara yang menolak vaksinasi ini, ke depan, dapat dijatuhi sanksi.
Dalam konteks kesehatan sebagai HAM, pelaksanaan imunisasi sebagai program pemerintah mencakup dimensi ketersediaan dan kualitas (seperti baku mutu vaksinnya) sebagaimana urusan bersama pemerintah tadi. Kemudian kewajiban pemerintah adalah menjamin aksesibilitas program, seperti pelaksanaanya yang non diskriminatif, hingga (secara fisik) ke daerah terpencil sekalipun, terjangkau oleh keuangan rakyat yang diwakili Pemda setempat serta perolehan informasi (termasuk tentang KIPI/kejadian ikutan pasca imunisasinya). Pemerintah juga wajib menjamin bahwa penerimaan imunisasi oleh masyarakat setempat tidak bermasalah (misalnya terbebas dari isu haram akibat kandungan bahan bakunya). Cara pandang baru ini juga akan meneliti sejauh mana terjadinya “trias interseksi HAM – kesehatan” (WHO). Misalnya, pertama, pelanggaran HAM berakibat buruknya kesehatan seperti nyata pada daerah konflik karena ekses pilkada bupati yang menelantarkan program. Kedua, penurunan kerentanan terhadap buruknya kesehatan melalui HAM seperti bayi yang malnutrisi harus memperoleh prioritas imunisasi dengan memperbaiki status gizinya sebagai bagian dari perjuangan hak atas makanannya. Kontra-indikasi vaksinasi terhadap bayi rentan juga merupakan kelompok ini. Ketiga, promosi atau pelanggaran HAM melalui pembangunan kesehatan, seperti pelaksanaan imunisasi harus memperhatikan hak atas informasi dan privasi dari warganegara. Anak dokter atau perawat atau bidan diberi kesempatan untuk mereka vaksinasi sendiri walaupun laporan datanya wajib disampaikan ke pemerintah. Adanya PP No. 38/2007 dan PP No. 65/2005 serta PP No. 41/2007 yang mewajibkan cakupan imunisasi anak mencapai 100% tadi merupakan implikasi hukum dari keputusan politik pemerintah yang cukup berani. Moralitas (etikolegal) pemerintah nampak kokoh disini. Ada 2 alasan : pertama perlakuan hak atas kesehatan di bidang imunisasi anak ini yang tergolong sebagai hak ekonomi-sosial dalam HAM yang ciri pelaksanaannya oleh pemerintah terhadap rakyatnya adalah “sunnah” , diubah sebagai “wajib”. Padahal dalam “mazhab WHO”, masih dapat ditolerir adanya penundaan pelaksanaan hak atas kesehatan tersebut bila negara mengalami kekurangan dana seperti kita saat ini (dikenal sebagai “the Syracusa Principles”). Artinya imunisasi disejajarkan dengan kategori hak sipil (keberadaban) dan politik yang tak boleh ditunda-tunda lagi pelaksanaanya. Kedua, imunisasi sebagai hak generasi kedua, muncul sebagai generasi ketiga yakni hak solidaritas internasional. Hal ini nyata, ketika 1 kasus polio di Indonesia menjadi perhatian dunia (karena mereka takut ketularan) – mirip seperti kasus flu burung – karena International Health Regulation (IHR) sudah mulai mengikat negara kita semenjak Agustus 2007 lalu. Imunisasi anak yang merupakan kewajiban pemerintah sesuai SPM merupakan pelaksanaan “nyaris ideal” dari trias kewajiban pemerintah dalam bidang HAM. Pertama, kewajiban menghormati (to respect) atau “what not do or what action to avoid” terhadap hak atas kesehatan generasi penerus kita dari bebas polio misalnya, sehingga pemerintah “haram/makruh” untuk tak melakukan vaksinasi PPI bagi warganya. Kedua, kewajiban melindungi (to protect) seluruh anak-anak balita masa kini termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, tertinggal maupun perbatasan luar Indonesia, sehingga pemerintah “wajib” menyediakan vaksin ke daerah-daerah tersebut. Ketiga, kewajiban memenuhi (to fulfil) atau “should do” imunisasi hingga cakupan 100% tanpa kecuali sesuai targetnya.
Sumber :Agus Purwadianto (http://www.majalah-farmacia.com)

Tinggalkan komentar